Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dari Berbagai Perspektif


Kajian mengenai boleh tidaknya merayakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw merupakan kajian yang cukup sensitif apabila disampaikan tanpa dasar ilmu yang cukup mendalam. Apalagi jika disampaikan oleh seseorang yang berasal dari kelompok tertentu dan tanpa mau terbuka dengan kelompok lainnya.

Agar penjelasannya sedikit lebih jelas, berikut penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum merayakan Maulid Nabi SAW baik dari perspektif empat madzhab fiqh maupun pandangan organisasi Islam besar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah.

1. Perspektif Empat Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali)

Mayoritas ulama dari keempat madzhab ini memiliki pandangan yang serupa, yaitu: merayakan Maulid Nabi adalah bid'ah hasanah (inovasi baik), selama dilakukan secara sesuai syariat. Simaklah penjelasan detailnya dibawah ini:

a. Madzhab Hanafi

Syaikh Ibnu ‘Abidin menyatakan: “Ketahuilah bahwa salah satu bid’ah yang terpuji adalah perayaan maulid Nabi…

b. Madzhab Maliki

Imam Ibnul Haj menyebut: “Wajib bagi kita memperbanyak ibadah dan kebaikan pada hari Senin, 12 Rabiul Awal, sebagai ungkapan syukur...”

c. Madzhab Syafi’i

Imam al-Suyuti menegaskan: “Ini adalah bid’ah hasanah yang pelakunya memperoleh pahala, sebab mengagungkan derajat Nabi…”

d. Madzhab Hanbali

Ibn al-Jauzi menyampaikan: “Di antara keistimewaan Maulid adalah sebagai rasa aman tahun itu dan kabar gembira...”

Dalam artikel lainnya menyimpulkan bahwa keempat madzhab menganggap perayaan tersebut bid'ah yang baik, meski Nabi dan sahabat tak melakukannya secara ritual. Namun, terdapat juga penolakan dari sebagian kecil ulama, seperti Syekh Tajuddin al‑Fakihani, yang menganggap Maulid sebagai bid’ah tak berdasar dan bahkan berbahaya kalau berlebihan.

Secara singkat: Mayoritas pendapat empat madzhab: bid'ah hasanah (diperbolehkan dan bernilai baik jika sesuai syariat). Sebagian minoritas menolaknya karena tidak ada contoh dari generasi awal.

2. Pandangan Organisasi Islam di Indonesia
 
a. Nahdlatul Ulama (NU)

NU memandang perayaan Maulid sebagai bid'ah hasanah yang diperbolehkan, karena tidak bertentangan syariat dan membawa manfaat, seperti menanamkan kecintaan pada Rasul ﷺ dan mempertegas teladan beliau.

Beberapa ulama NU, seperti KH Said Aqil Siradj, menegaskan bahwa meski Maulid baru muncul pasca salaf, bukan berarti negatif; bid’ah tidak selalu buruk bisa juga positif seperti ilmu tajwid.

Imam Ibnul Haj al‑Fasi (referensi NU) bahkan memandang 12 Rabiul Awal sebagai momen untuk memperbanyak ibadah sebagai rasa syukur atas kelahiran Nabi ﷺ .

Gus Basith (NU) juga menekankan bahwa generasi kita memerlukan momentum seperti Maulid untuk memperbarui cinta dan pengenalan terhadap Nabi ﷺ yang sudah jauh secara zaman.

b. Muhammadiyah

Muhammadiyah memandang Maulid sebagai perkara ijtihadiyah tidak ada dalil yang mewajibkan atau melarang. Oleh karena itu, boleh dilakukan asal tidak mengandung unsur bid’ah buruk, syirik, atau berlebihan.

Kegiatan seperti ceramah, kajian, dakwah, dan penguatan ajaran Nabi sangat dianjurkan, sedangkan seremoni berlebihan, bacaan tanpa dalil, dan ritual yang dianggap syirk tidak disarankan.
 
3. Ringkasan Perbandingan
  • Menurut 4 Madzhab (Mayoritas) hukum merayakan Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah (diperbolehkan) selama sesuai syariat, bernilai ibadah dan cinta kepada Nabi ﷺ
  • Menurut NU hukum merayakan Maulid nabi adalah Bid’ah Hasanah, dianjurkan sarana menjaga kecintaan dan mengenang teladan Nabi ﷺ
  • Menurut Muhammadiyah hukum merayakan Maulid Nabi adalah perkara Ijtihadiyah boleh jika simpel dan manfaat, hindari yang tidak dalil atau berlebihan
  • Sedangkan menurut minoritas Ulama mengatakan bahwa hukum merayakan Maulid Nabi adalah Bid’ah yang ditolak tidak ada dasar syariat, rawan penyimpangan dan perbuatan berlebihan.
4. Apa Maknanya untuk Kita?
  • Tidak ada konsensus tunggal, tetapi mayoritas ulama dalam sejarah memperbolehkan Maulid dengan catatan sesuai syariat.
  • Jika ingin merayakan: jadikan sebagai momen spiritual, edukatif, dan syukur, seperti kajian sirah, salawat, sedekah, dan bersilaturahmi.
  • Hindari unsur berlebihan, ritual tanpa dalil, atau yang bisa mengganggu masyarakat sekitar sesuai saran Muhammadiyah.
5. Pandangan Salafi dan Ulama yang Menolak Maulid

Kelompok Salafi yang menekankan kemurnian ajaran Islam seperti pada masa Rasulullah, sahabat, dan tabi'in umumnya menolak perayaan Maulid Nabi, dengan alasan sebagai bid’ah dhalalah (inovasi sesat) karena:
 
a. Tidak Pernah Diajarkan atau Dicontohkan
  • Rasulullah SAW tidak pernah merayakan hari kelahirannya.
  • Para sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) dan generasi tabi'in juga tidak merayakan Maulid.
  • Prinsip utama Salafi: Kalau itu baik, tentu para sahabat sudah melakukannya.
b. Hadits Nabi SAW tentang Bid'ah

Sering dikutip: "Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dll)
 
c. Dikhawatirkan Menyerupai Tradisi Agama Lain

Sebagian ulama Salafi melihat Maulid menyerupai perayaan kelahiran tokoh agama seperti Natal, sehingga tidak sesuai dengan tauhid.
 
Tokoh-Tokoh Salafi yang Menolak Maulid
  • Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab : Penolak keras praktik-praktik baru dalam agama, termasuk Maulid.
  • Syaikh Bin Baz (Arab Saudi) : Merayakan Maulid adalah bid’ah yang tidak dikenal oleh para salaf.
  • Syaikh Al-Albani : Menganggap Maulid sebagai bagian dari ritual yang tidak memiliki dalil dan cenderung membawa umat pada perbuatan yang jauh dari sunnah.
6. Pandangan Ulama Deobandi (India - Pakistan)

Mazhab Deobandi pada dasarnya adalah pengikut madzhab Hanafi yang sangat ketat dalam menjaga sunnah. Mereka juga :
  • Tidak secara eksplisit menolak Maulid jika dilakukan tanpa berlebihan (misalnya dengan ceramah, bukan ritual).
  • Tapi menentang perayaan formal, apalagi jika: Diiringi nyanyian, musik, ziarah massal yang tidak terkontrol
  • Mencampuradukkan dengan hal-hal yang tidak berdasar dalil
Jadi, Deobandi lebih mewaspadai potensi penyimpangan, walau tidak menolak esensi mencintai Nabi Muhammad SAW.

7. Ringkasan Pandangan Salafi & Deobandi
  • Kelompok Salafi : Menolak keras (bid’ah dhalalah), alasan utamanya : Tidak dilakukan Rasulullah & sahabat, menyerupai agama lain, tanpa dalil
  • Kelompok Deobandi : Tidak menganjurkan (hati-hati), alasan utamanya : Waspada terhadap penyimpangan, tapi tidak menolak cinta Nabi dan pengajian
8. Kesimpulan Akhir
  • Menurut pandangan NU / Syafi’i hukumnya Boleh (bid’ah hasanah), dengan catatan : Dianjurkan selama tidak melanggar syariat
  • Menurut pandangan Muhammadiyah hukumnya Mubah (ijtihadiyah) Boleh, dengan catatan : Asal tidak mengandung syirik, bid’ah tercela, atau berlebihan
  • Menurut pandangan Salafi hukumnya Haram (bid’ah sesat), dengan catatan : Tidak pernah dilakukan Rasul dan sahabat, menyerupai agama lain
  • Menurut Deobandi hukumnya Makruh atau tidak dianjurkan, dengan catatan : Lebih fokus pada kajian keteladanan Nabi, bukan seremoni Maulid formal
Demikian penjelasan singkat tentang hukum merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dari berbagai perspektif. Untuk saat ini pembahasan tentang masalah itu sebaiknya tidak di sampaikan secara vulgar atau terlalu terbuka, mengingat masyarakat belum sepenuhnya paham tentang masalah ini karena banyaknya perbedaan pendapat yang cukup membingungkan.

Pembahasan dalam kajian agama sekarang ini, sebaiknya lebih menitikberatkan pada bagaimana upaya-upaya pada tercapainya mempersatukan umat Islam, bukan malah memecahkan umat dengan masalah-masalah yang sebenarnya sudah dipelajari di bangku sekolah/madrasah secara umum. 

Dari berbagai sumber. Wallaahu A'lam
Admin
Admin Content Writer