Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Zoom Meeting : Kajian Ilmiah tentang Golden Rules (Part-3)


Apakah yang dimaksud dengan Golden Rule ?

Pada dasarnya, setiap orang, dalam derajat apa pun ingin dihargai sebagai manusia. Bahasa Jawa menyatakannya, setiap manusia ingin “diwongke” (diorangkan). Tak bisa dilihat kasat mata, pada dasarnya pada setiap orang, ada suatu tulisan yang dikalungkan di lehernya, “Tolong hargai saya.”

Penghargaan yang diinginkan itu tidak selalu berwujud materi. Penghargaan itu lebih kepada bagaimana ia diperlakukan secara layak, secara hormat sebagai seorang manusia.

Pengertian  

Secara psikologis, Golden Rule atau Aturan Emas adalah suatu bentuk empati. Suatu wujud pemikiran bahwa kita sangat memahami pemikiran dan keinginan orang lain. Secara filosofis, Aturan Emas menumbuhkan suatu pandangan bahwa orang lain adalah “saya” atau “diri saya sendiri” maka bijaksananya memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan.

Secara sosiologis, Aturan Emas adalah penyamaan pengakuan dan penghargaan kemanusiaan. Aturan Emas, pada hakikatnya, adalah suatu prinsip altruisme dalam pelbagai budaya dan agama. Ia merupakan suatu prinsip kemurahan hati, suatu kehendak untuk memberikan hal-hal terbaik dan positif bagi orang lain.

Bagi beberapa orang, Aturan Emas menjadi patokan moral universal. Landasan moral universal, berarti standar yang digunakan dalam bertindak dan berlaku sama bagi setiap manusia yang ada.

Dalam lingkungan masyarakat, terdapat aturan-aturan yang dijadikan landasan dalam bertindak. Namun, aturan-aturan seperti ini hanya berlaku di sekitar lingkungan masyarakat itu saja, karena aturan ini juga dibuat berdasarkan budaya setempat dan kesepakatan masyarakat tersebut.

Sehingga aturan di daerah A belum tentu sama dengan aturan di daerah B dan bahkan bisa saja bertentangan. Dengan begitu, antara satu orang dan orang lainnya bisa saja saling melabeli 'tidak bermoral', karena landasan yang dianutnya saja bertentangan. 

Pada skala yang lebih umum, landasan moral yang seringkali digunakan adalah sebuah moral agama. Hampir semua (atau semua) ajaran agama mengajarkan ke arah kebaikan. Karena ajaran agama di klaim berasal dari entitas yang disebut Tuhan, maka tak jarang ajaran agama mengklaim bahwa nilai-nilainya bersifat universal.

Namun pada praktiknya sendiri, masih sering terjadi konflik horizontal antara satu penganut agama dan penganut agama yang lainnya. Sebenarnya, konflik atas nama agama terjadi juga bukan murni karena pengaruh agama.

Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor ekonomi, sumber daya, wilayah, dll. Sehingga wajar jika sebagian besar penganut agama mengatakan bahwa konflik agama itu sendiri disebabkan oleh 'oknum'. 

Tapi disinilah kelemahan dari agama. Karena agama dianggap memiliki pengaruh besar bagi sebagian besar manusia, maka nilai-nilai agama menjadi rentan 'diperkosa' oleh orang-orang yang dianggap oknum. Jika ini terjadi terus menerus, maka nilai-nilai yang telah 'diperkosa' tersebut bisa saja di doktrin kan kepada orang-orang, sehingga nilai universal agama hilang dan menjadi tidak kompatibel lagi di zaman sekarang. 

Berdasarkan hal ini, kita bisa simpulkan bahwa selamanya tak ada landasan moral yang berlaku universal jika hanya mengandalkan faktor-faktor yang berada di luar manusia seperti agama, budaya, adat, dll (setidaknya untuk saat ini). Jika seperti itu, berarti kita harus melihat kembali ke dalam diri manusia, yang sesuai dengan hakikat manusia sebenarnya.

Sebagai manusia, kita memiliki apa yang disebut sebagai instrumen berpikir dan nurani. Instrumen berpikir, berfungsi untuk mengolah informasi-informasi yang datang dari luar diri manusia. Namun, jika memutuskan apa yang baik dan buruk hanya dengan menggunakan instrumen berpikir, maka hasilnya akan relatif bagi setiap orang, karena kemampuan berpikir setiap orang tentu saja berbeda.

Satu-satunya alasan mengapa konsep luar saja tidak bisa dijadikan landasan yang universal, bahkan konsep agama yang katanya di klaim sebagai wahyu Tuhan, itu karena manusia perlu mempersepsikan kembali informasi yang datang dari luar. Karena kemampuan persepsi setiap orang itu relatif, maka informasi tersebut bisa saja berlaku bagi sebagian orang saja, sehingga hal itu tidak bisa berlaku universal.

Maka dari itu, manusia memiliki nurani. Tetapi, nurani tidak bisa bekerja sendirian. Nurani perlu konsep luar yang sebelumnya telah diolah oleh pikiran manusia untuk diolah kembali menjadi sebuah konsep baik dan buruk. Karena nurani setiap orang itu sama, maka tak ada kebaikan dan keburukan yang bersifat relatif. Mengutip dari Winda Ohyver,

"Tanpa 'tahu' (pengetahuan; instrumen berpikir) manusia tidak lebih dari primata yang tak berakal. Dan manusia tanpa nurani (akhlak; pekerti) tidak lebih dari primata yg notabene adalah binatang."

Dari konsep inilah, muncul apa yang disebut sebagai golden rule atau aturan emas yang berbunyi: "Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan"

Sumber : https://id.quora.com

Materi selengkapnya tentang Golden Rules, di bawah ini.

Post a Comment for "Zoom Meeting : Kajian Ilmiah tentang Golden Rules (Part-3)"